Indonesia adalah negeri Hukum, segalanya berkiblatkan pada Hukum. Aksi kejahatan atau tindakan merugikan negara semuanya diselesaikan dengan Hukum. Tak Peduli orang miskin atau orang kaya, tak peduli Pedagang maupun Pejabat. Semuanya sama dimata Hukum. Seperti bunyi UU 45 Pasal 27 ayat 1
Tapi seiring berjalannya roda kehidupan. Seiring kemapanan dan modernisasi cara hidup, kedudukan seseorang dimata hukumpun mulai bergeser. Terutama untuk kalangan yang berpengaruh, atau minimal disebut sebagai Pejabat, hampir bisa lolos dari cengkraman hukum dinegeri ini.
Kasus yang paling membuat jengkel masyarakat ialah kasus korupsi. Bagaimana tidak? tak ada kasus korupsi yang terselesaikan dengan adil dan masuk akal. Semuanya pasti mengecewakan masyarakat. Bahkan sebagian besar kasus tersebut tak terselesaikan dikarenakan sang koruptor sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri. Sudah banyak nama-nama di Indonesia yang menjadi cerminan buruk sistem hukum di Indonesia. Mulai dari zaman orde baru hingga jaman reformasi saat ini tetap saja bermunculan nama-nama baru. Mulai dari empunya koruptor Soeharto hingga generasi baru seperti Anggoro, semuanya selamat dari rongrongan hukum di Indonesia. Padahal sudah sangat jelas kutipan UU diatas tadi, bahwa baik pemerintah maupun rakyat semuanya berkedudukan sama dimata hukum. Coba Kita perbandingkan dengan negara-negara sahabat kita.
1. Malaysia
Tidak berlakunya asas praduga tak bersalah. Sehingga apabila seseorang sudah terseret dengan kasus korupsi, maka tak ada kata lain selain dihukum. Meskipun hukumannya masih dikategorikan sama dengan Indonesia, yaitu penjara sekurang-kurangnya 15 hari dan selama-lamanya 20 Tahun, namun hukuman untuk perdatanya sangat jauh berbeda. Dimalaysia, apabila seseorang melakukan korupsi misal 1 Milyar Ringgit, maka orang itupun harus mengembalikan uang negara 5x lipat dari uang yang telah dikorupsinya. Sedangkan dinegeri kita, korupsi sampai triliunan rupiah pun tak akan membuat uang negara kembali. Jangankan 5x lipat, kembali utuh sediakala pun tak bisa dilakukan.
2. China
Jika dengan Malaysia perbedaan hukumnya terletak pada Perdata, namun dengan China perbedaannya terletak pada Pidana. Dinegeri tirai bambu, seseorang yang melakukan korupsi sekecil apapun maka hukumannya selain dipecat dari jabatan (tak peduli setinggi apapun jabatannya) juga dihukum mati. Sangat mengerikan memang, tapi itulah yang membuat negara tersebut bersih dari korupsi. Karena memikirkan untuk korupsi pun hilang dari benak pejabat-pejabat China. Bandingkan dengan Indonesia. Kita ambil contoh kasus ketua PSSI Nurdin Halid. Beliau tertangkap basah korupsi senilai 5 Milyar rupiah, namun semasa dipenjara dan selepas dari penjara, jabatan sebagai ketua PSSI tetap disandangnya. Namanya tak pernah masuk sebagai calon PHK di PSSI
3. Arab
Berbeda dengan China dan Malaysia, Arab Saudi memperlakukan koruptor sebagai pencuri atau istilah kasarnya maling. Hukumannya pun berkiblatkan pada Al-quran dan Al-hadits. Seperti dikutip dari salah satu ayat Al-quran, Allah berfirman :
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana" (Qs. Al-maidah : 38)
Sedangkan di Indonesia, jangankan dipotong, memakai baju bertuliskan koruptor pun banyak terjadi perdebatan. Melanggar HAM lah, tak manusiawi lah. Padahal jumlah masyarakat muslim kita adalah yang terbesar di dunia, tapi menggunakan sedikit hukum Islampun tak mau.
Memang memprihatinkan cara kerja hukum di Indonesia khusus untuk kasus korupsi. Terlalu lembut dan terkesan memanjakan. Tak ada hukum yang memerintahkan koruptor yang kabur keluar negeri untuk diseret pulang ke Indonesia. Yang paling bobrok adalah kasus Anggoro, polisi tahu tempat tinggalnya di Singapura, polisi pun tahu kalau anggoro adalah tersangka Koruptor, tapi hingga detik ini, kaki sang koruptor tersebut tak bisa disentuh untuk diseret ke Indonesia.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Wassalam
Tapi seiring berjalannya roda kehidupan. Seiring kemapanan dan modernisasi cara hidup, kedudukan seseorang dimata hukumpun mulai bergeser. Terutama untuk kalangan yang berpengaruh, atau minimal disebut sebagai Pejabat, hampir bisa lolos dari cengkraman hukum dinegeri ini.
Kasus yang paling membuat jengkel masyarakat ialah kasus korupsi. Bagaimana tidak? tak ada kasus korupsi yang terselesaikan dengan adil dan masuk akal. Semuanya pasti mengecewakan masyarakat. Bahkan sebagian besar kasus tersebut tak terselesaikan dikarenakan sang koruptor sudah terlebih dahulu kabur ke luar negeri. Sudah banyak nama-nama di Indonesia yang menjadi cerminan buruk sistem hukum di Indonesia. Mulai dari zaman orde baru hingga jaman reformasi saat ini tetap saja bermunculan nama-nama baru. Mulai dari empunya koruptor Soeharto hingga generasi baru seperti Anggoro, semuanya selamat dari rongrongan hukum di Indonesia. Padahal sudah sangat jelas kutipan UU diatas tadi, bahwa baik pemerintah maupun rakyat semuanya berkedudukan sama dimata hukum. Coba Kita perbandingkan dengan negara-negara sahabat kita.
1. Malaysia
Tidak berlakunya asas praduga tak bersalah. Sehingga apabila seseorang sudah terseret dengan kasus korupsi, maka tak ada kata lain selain dihukum. Meskipun hukumannya masih dikategorikan sama dengan Indonesia, yaitu penjara sekurang-kurangnya 15 hari dan selama-lamanya 20 Tahun, namun hukuman untuk perdatanya sangat jauh berbeda. Dimalaysia, apabila seseorang melakukan korupsi misal 1 Milyar Ringgit, maka orang itupun harus mengembalikan uang negara 5x lipat dari uang yang telah dikorupsinya. Sedangkan dinegeri kita, korupsi sampai triliunan rupiah pun tak akan membuat uang negara kembali. Jangankan 5x lipat, kembali utuh sediakala pun tak bisa dilakukan.
2. China
Jika dengan Malaysia perbedaan hukumnya terletak pada Perdata, namun dengan China perbedaannya terletak pada Pidana. Dinegeri tirai bambu, seseorang yang melakukan korupsi sekecil apapun maka hukumannya selain dipecat dari jabatan (tak peduli setinggi apapun jabatannya) juga dihukum mati. Sangat mengerikan memang, tapi itulah yang membuat negara tersebut bersih dari korupsi. Karena memikirkan untuk korupsi pun hilang dari benak pejabat-pejabat China. Bandingkan dengan Indonesia. Kita ambil contoh kasus ketua PSSI Nurdin Halid. Beliau tertangkap basah korupsi senilai 5 Milyar rupiah, namun semasa dipenjara dan selepas dari penjara, jabatan sebagai ketua PSSI tetap disandangnya. Namanya tak pernah masuk sebagai calon PHK di PSSI
3. Arab
Berbeda dengan China dan Malaysia, Arab Saudi memperlakukan koruptor sebagai pencuri atau istilah kasarnya maling. Hukumannya pun berkiblatkan pada Al-quran dan Al-hadits. Seperti dikutip dari salah satu ayat Al-quran, Allah berfirman :
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana" (Qs. Al-maidah : 38)
Sedangkan di Indonesia, jangankan dipotong, memakai baju bertuliskan koruptor pun banyak terjadi perdebatan. Melanggar HAM lah, tak manusiawi lah. Padahal jumlah masyarakat muslim kita adalah yang terbesar di dunia, tapi menggunakan sedikit hukum Islampun tak mau.
Memang memprihatinkan cara kerja hukum di Indonesia khusus untuk kasus korupsi. Terlalu lembut dan terkesan memanjakan. Tak ada hukum yang memerintahkan koruptor yang kabur keluar negeri untuk diseret pulang ke Indonesia. Yang paling bobrok adalah kasus Anggoro, polisi tahu tempat tinggalnya di Singapura, polisi pun tahu kalau anggoro adalah tersangka Koruptor, tapi hingga detik ini, kaki sang koruptor tersebut tak bisa disentuh untuk diseret ke Indonesia.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Wassalam
0 komentar:
Post a Comment